Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1


NAMAKU PANCA

Suherman Komara - Cerpen

    
             

Namaku Panca  

Perkenalkan, namanya Panca. Dia dilahirkan di sudut Kampung jauh dari hiruk pikuk Ibu Kota. Pesawahan hijau terhampar di belakang rumahnya. Cericit burung pipit adalah musik alami terindahnya,yang setiap saat dia nikmati dengan gratis.Tidak ada AC di rumahnya, suasana sekeliling yang menghijau telah memberi segalanya. Angin dan udara yang segar, dia nikmati setiap harinya. Membuatnya tumbuh sehat dan kuat,jauh dari segala macam penyakit yang disebabkan oleh polusi udara.

        Karena rumahnya berada di perkampungan, kebanyakan mata pencaharian penduduknya pun sesuai dengan tempat tinggalnya. Mereka kebanyakan menjadi petani atau penggarap sawah milik tetangganya. Tak terkecuali Ayah dan Ibunya, mereka pun adalah seorang petani, di samping pekerjaan pokok Ayah sebagai seorang penjaga sekolah. Setiap pulang dari pekerjaan pokoknya, Ayahnya selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk mengolah sawah warisan dari kedua orangtuanya. Memang tidak begitu luas, tapi alhamdulilah dapat menghidupi keluarganya. Kalau sekedar beras dan lauk pauknya, Mereka tidak pernah membeli. Dengan hasil panen, beras pun cukup untuk bekal makan mereka sekeluarga.

          Sedangkan untuk sayurnya, Ibunya rajin menanami setiap jengkal tanah dengan berbagai sayuran. Ada kacang panjang, lada, tomat, sawi maupun sayuran yang lainnya. Sedangkan kebutuhan lauknya, Ayahnya menebar benih ikan mas di petakan sawah dengan sistem mina padi. Sebuah teknologi tepat guna dalam rangka optimalisasi produktivitas lahan sawah melalui integrasi budidaya ikan dengan padi.

    Mendengar namanya disebut, kebanyakan orang pasti mengira bahwa dia adalah anak kelima. Benarkah?

    Pertanyaan yang sama, manakala dia diberi nama itu oleh kedua orangtuanya. Saat itu usianya menginjak usia kelas 6 Sekolah Dasar. Saat dia tahu arti dari kata Panca. Menurut wali kelasnya, itu artinya lima. Kebanyakan kata Panca jika ingin ditautkan pada nama seorang anak, dapat dipastikan anak tersebut adalah anak kelima.

    “Lha...berarti Aku anak kelima dong?” tanyanya dalam hati saat itu. Seolah tak percaya dengan penjelasan gurunya saat itu. Dia menyangsikan arti dari nama Panca. Karena kenyataannya dia ini anak ketiga dari tiga bersaudara, bukan anak kelima meskipun namanya Panca.

                                                                                ***
     Rasa penasaran itu terbawa sampai ke rumah. Ingin rasanya dia segera bertanya kepada orangtuanya, perihal arti dari  pemberian nama Panca. Kenapa harus Panca,padahal dia kan bukan anak kelima. Keluarganya hanya berjumlah lima orang.Ayah dan Ibu, ditambah anaknya tiga orang, dan dia anak ketiga dari tiga bersaudara. Jadi pusing otaknya saat itu. Otak anak kecil, yang mulai berpikir kritis tentang sejarah kehidupannya.

     Sesekali dia melayangkan pandangannya ke gerbang rumah. Berharap ada suara klakson sepeda ontel tua ayahnya memanggil. Namun hingga lehernya pegal,suara klakson yang dirindukan itu tak kunjung dia dengar.

    Sudah beberapa jam dia menunggu di beranda rumahnya dengan penuh harap. Namun lagi-lagi harapannya hanya harapan kosong. Ayah dan sepeda ontel tuanya tak kunjung datang. Tak biasanya Ayahnya pulang terlambat. Biasanya jam dua lebih sedikit Ayah sudah berkumpul dengan mereka di beranda rumahnya sambil menikmati teh hangat buatan ibu.

    “Panca...ayok siap-siap berangkat ngaji, sebentar lagi kan mau Magrib!” Ibu berteriak dari dapur menyuruhnya untuk siap-siap pergi ke Masjid.

    “Tapi Bu...Aku lagi nunggu Ayah pulang!”

   “Ayahmu hari ini pulangnya agak malam. Tadi dia nelponIbu, ada pekerjaan penting di kantor katanya, Bapak Ibu guru di tempat kerja Ayahmu mau rapat, jadi Ayah menunggu rapat Bapak Ibu guru selesai” ungkap Ibu.

    “Ya...!” Kecewanya tidak  dapat dia sembunyikan saat mendengar kabar dari Ibu tersebut. Ibu hanya memandangnya dengan heran saat itu. Mungkin dalam hatinya mengumpatnya. Panca yang tak terbiasa bertingkah aneh, mencoba menutupi semua tanda tanyanya dengan segera pergi ke Masjid bersama teman-teman kecilnya.

                                                                            ***
    “Assalamualaikum...!” Teriaknya dari luar rumah,saat pulang dari Masjid. Belum juga selesai Ibu menjawab salam, Panca menerobos pintu rumah yang baru sedikit terkuak. Hampir saja Ibu jatuh terjerembab karena nyaris dia tabrak.

    “Masyaallah...ini anak,bukannya salam malah nabrak-nabrak begitu!”

    “Ayah mana Bu?” Tak dihiraukan omelan Ibunya. Berulang kali dia menanyakan hal yang sama hingga Ibu menjawab dengan penuh keheranan.

    Panca langsung menuju ruang tengah saat Ibu menjawab bahwa Ayah ada di ruang tengah. Dan ternyata benar, Ayah sedang duduk santai di ruang tengah ditemani secangkir kopi buatan Ibu. Tanpa basa-basi lagi, dia menghujani Ayahnya dengan pertanyaan yang dari tadi siang dia simpan di dalam hati. Tentang kenapa namanya Panca padahal dia bukan anak kelima. Kenapa namanya bukan Tri karena dia anak ketiga. Banyak lagi pertanyaan yang dia ajukan saat itu. Semua dia tumpahkan sama Ayahnya.

    “Lha wong nanyanya satu-satu, nanya kok kayak polisi introgasi penjahat!” Ayah pura-pura ketus. Panca tahu itu hanya pura-pura. Karena dia kan anak bungsu, anak yang sangat disayang sama Ayah.

    “Ayo dong Yah...!Okey-okey nanyanya satu-satu, kenapa Ayah memberi nama Panca. Kata Pak Guru Panca itu artinya Lima. Aku kan anak ketiga bukan anak kelima!” Tanyanya.

   “Oh...jadi itu yang ingin Kamu ketahui Nak. Baiklah, Ayah jelaskan,tapi sambil dipijit, hehe! Bagaimana, Deal?’. Ayah langsung tengkurap di hadapannya. Panca tidak bisa berkutik. Dia menyetujui syarat yang diberikan Ayahnya, yang penting semua rasa penasarannya  terjawab.

    “Ayo dong Yah dimulai, ini kan sudah dipijit!” Serunya sambil memijit kaki Ayahnya.

    “Baiklah!”

    Ayah mulai bercerita di antara pijitannya. Bahwa dia memang bukan anak kelima, meskipun berlawanan dengan arti namanya. Bahwa saat Ibu mau melahirkannya, Ayah dengan terburu-buru menjemput Ibu Bidan Desa dengan motornya. Namun Ayah lupa tidak memakai helm. Di tengah jalan, Ayah terkena razia polisi lalu lintas. Untung saja tidak sampai kena tilang. Ayah hanya dihukum mengucapkan Pancasila. Untung saja Ayah hafal semua silanya, jadi Ayah tidak memerlukan waktu yang lama untuk menuntaskan hukumannya. Panca sesekali tersenyum simpul, di antara cerita Ayah tentang asal-usul namanya.

    “Setelah Ayah menyelesaikan hukuman atas kelalaian Ayah, Ayah dipersilahkan melanjutkan perjalanan sambil di wanti-wanti sama Bapak Polisi, agar lain kali Ayah tidak sampai lupa memakai helm!” Sambung ayah.

    “Terus gimana Yah, apa Ayah tidak jadi menjemput Bu Bidan?” Tanya Panca penasaran.

    “Kalau gak jadi,mana mungkin Kamu lahir!” Ayah menimpali sambil sedikit berguyon.

    Ayah meneruskan cerita yang tertunda oleh kelakarnya tadi. Bahwa Ayah melanjutkan perjalanan, dengan tergesa-gesa menyusul Ibu Bidan Desa. Dengan perasaan yang cemas, akhirnya Ibu Bidan Desa itu berhasil Ayah bawa ke rumah untuk membantu persalinan Ibu. Selang beberapa jam setelah Ibu Bidan membantu persalinan Ibu, lahirlah seorang anak laki-laki yang tampan dan terlahir sehat. Saat itu Ayah memberi nama anak itu Panca.

                                                                            ***
    Nah, ternyata begitu alur cerita tentang namanya. Sejak itu dia tak lagi penasaran dengan alasan pemberian nama Panca yang tertera pada kartu mahasiswanya saat ini. Malahan dia bangga bisa menyandang nama tersebut dengan kisahnya yang unik.

    Panca yang dulu kecil mungil plus tampan, kini telah tumbuh dewasa dan telah menjadi seorang Mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Ibu Kota.

    Dia yang dulu dekil dan selalu berkubang di petakan sawah, bermain bersama kerbau bajak milik Mang Udin tetangganya. Kini telah menjadi sosok pria dewasa yang penuh tanggung jawab melaksanakan tugas dan kewajibannya, menuntut ilmu demi masa depan dan nama baik keluarga di kampung halaman.

  Dalam pundaknya, menumpuk berjuta harapan terbaik dari keluarga.Suatu saat Panca bisa mewujudkan harapan dan doa kedua orang tuanya. Itu harapan dan doanya. Karena itu, Dia tidak pernah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini. Tekadnya hanya satu, segera menamatkan perkuliahannya tepat waktu, agar waktunya tidak terbuang percuma, agar dia segera menentukan langkah berikutnya.

    Masa kecilnya memang pahit untuk dilewati. Ayahnya hanyalah seorang pekerja biasa. Gajinya hanya cukup untuk makan sehari-hari dengan lauk apa adanya. Tidak pernah terhidang, lauk mewah di meja makannya. Meja makannya pun bukan meja makan kayu jati ukiran Jepara yang indah. Meja makannya saat itu hanyalah beralaskan tikar,yang digelar di atas dipan kayu. Panca terbiasa makan bersama,duduk bersila melingkari hidangan lezat buatan Ibu.Enak rasanya. Ternyata nikmatnya makanan itu bukan dari seberapa banyak makanan mahal terhidang di meja makan,akan tetapi makanan yang terlihat sederhana,namun dimakan bersama-sama, dihidangkan dengan penuh cinta oleh Ibunda tersayang. Nikmat mana lagi yang akan dia dustakan. Hingga kini masih terbayang kebersamaan itu.

    Memang, lingkungannya sekarang ini berbeda. dia hidup di antara teman-temannya yang mempunyai gaya hidup yang jauh berbeda dengannya. Tapi dia tidak sedih. Dia menikmati hidup ini  dengan caranya. Tidak peduli orang-orang di sekelilingnya menyebutnya Mahasiswa kampungan, yang tidak pernah bergaul dan menikmati gaya hidup modern seperti mereka.

    Hidupnya banyak ditempa dengan berbagai kisah, di masa kecilnya. Sejak Sekolah Dasar dia terbiasa menghadapi masalah dan mencoba meraih hikmah di balik semua peristiwa yang dia alami. Sebagai pelajaran hidup yang berharga, sehingga mentalnya membaja dan tidak pernah cengeng.

    Tidak jauh berbeda dengan latar belakang kedua kakaknya. Kakak-kakaknya mendapat tempaan sekeras baja dari Ayahnya. Mungkin jauh lebih keras daripada mendidik dirinya. Bukan rahasia umum lagi,jika anak bungsu akan lebih di sayang. Tapi itu semua tidak terjadi. Panca juga mendapat didikan yang sama kerasnya dengan kedua kakaknya.

    Kakaknya yang pertama namanya Eka. Nama yang tepat untuk anak pertama. Seorang laki-laki,yang kini sudah berkeluarga. Dia merantau ke luar Kabupaten bersama istri dan anaknya. Kebetulan Kak Eka bekerja di sana,sehingga mengharuskannya pergi merantau.

    Sedangkan anak kedua, diberi nama Dwi oleh Ayah. Ini pun nama yang tepat dengan urutan kelahirannya, yaitu anak kedua. Tidak jauh berbeda, Kak Dwi pun merantau bersama anak dan istrinya. Bedanya, Kak Dwi merantau keluar Provinsi. Dia mencoba mengadu nasib, ikut transmigrasi. Sehingga jarang sekali dia mudik ke kampung halaman, tempat kelahirannya. Faktor biaya pulang kampunglah yang menghambat kepulangannya. Sekalinya pulang kampung, lima tahun baru bisa bertemu kembali.

Bio Penulis 

Suherman Komara, lahir di Bandung,tanggal 16 Oktober 1966. Penulis adalah pengajar tetap di Sekolah Dasar Negeri 1 Ciraja Desa Sirnaraja Kecamatan Cipeundeuy Kabupaten Bandung Barat

1 komentar untuk "NAMAKU PANCA"

  1. Terimakasih Kak Admin IGI sudah memfasilitasi dan menerbitkan tulisan Kami

    BalasHapus