KABAR DARI KOTA KINABALU Keterampilan Kerja dalam Kurikulum Islam Modern (BAGIAN III)
Arus globalisasi akan menggeser pola
hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat
industri dan perdagangan modern. Hal ini dapat terlihat di tingkat
internasional, seperti adanya World Trade Organization (WTO), Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), dan
ASEAN Free Trade Area (AFTA).
Tantangan globalisasi juga terkait dengan
pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas tekno-sains, mutu
investasi, dan transformasi bidang pendidikan. Keikutsertaan Indonesia di dalam
studi International Trends in International Mathematics and Science Study
(TIMSS) dan Program for International Student Assessment (PISA) sejak tahun
1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan.
Dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA, siswa Indonesia
seringkali menempati posisi yang tidak menggembirakan. Hal ini disebabkan
antara lain banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak
terdapat dalam kurikulum Indonesia.
Revolusi industri 4.0 merupakan tantangan
tersendiri untuk lulusan di mana hampir semua dunia industri dan dunia kerja
sudah menerapkan sistem otomatis dan robotika untuk menghasilkan pekerjaan yang
sempurna. Sudah bukan hal aneh lagi, semua lini bidang pekerjaan modern telah
menerapkan otomatisasi, kecerdasan buatan, big data, 3D printing, dan lain
sebagainya. Keterhubungan antarmanusia juga semakin meningkat dan difasilitasi
oleh teknologi, seperti konektivitas 5G yang memungkinkan munculnya kendaraan
otonom (autonomous vehicle) dan delivery drone.
Berdasarkan sejumlah tantangan ini,
diperlukan kompetensi lulusan yang siap beradaptasi dengan sesuatu hal yang
baru ketika lulus. Dunia industri dan dunia kerja di Indonesia sebetulnya cukup
dapat menampung semua lulusan. Namun demikian, lulusan tersebut harus mempunyai
kualifikasi yang diinginkan oleh perusahaan.
Beberapa kualifikasi tersebut adalah
mempunyai karakter yang baik atau softskill-nya yang bagus yaitu
religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, dan lain-lain. Namun demikian, hal tersebut masih
perlu perjuangan yang cukup kuat dari pihak sekolah.
Di lain sisi, kompetensi (skills)
lain yang diharapkan di era Revolusi Industri 4.0 yaitu berpikir
kritis/memecahkan masalah, kreatif dan inovatif, komunikatif, dan kolaboratif.
Hal itu ditunjang juga dengan literasi dasar yang harus kuat, yaitu Literasi
Kebahasaan, Literasi Berhitung (Numeracy), Literasi Sains, Literasi
Teknologi Informasi dan Komunikasi, Literasi Keuangan, serta Literasi Budaya
dan Kewarganegaraan.
Demi terwujudnya kompetensi (skills)
tersebut, diperlukan sistem pendidikan yang transformatif. Sistem pendidikan
nasional yang transformatif diharapkan dapat menghasilkan warga negara yang
mampu melakukan perubahan serta memiliki kapabilitas serta keberdayaan untuk
meningkatkan kualitas hidup bangsa. Pendidikan yang mengolah daya pikir, rasa,
karsa, dan raga seseorang diharapkan dapat membangun serta memperkaya
kebudayaan bangsa, yakni sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku
Bersama (Yudi, dalam Irawati, 2022: 2).
Dalam proses transformasi pendidikan
tersebut, Sistem Pendidikan Indonesia mengangkat dogma “Profil Pelajar
Pancasila” sebagai arah baru Kurikulum Pendidikan Indonesia. Profil Pelajar
Pancasila yang menjelaskan kompetensi serta karakter yang perlu dibangun dalam
diri setiap individu pelajar di Indonesia dapat mengarahkan kebijakan
pendidikan untuk berpusat atau berorientasi pada pelajar, yaitu ke arah
terbangunnya enam dimensi Profil Pelajar Pancasila secara utuh dan menyeluruh,
yaitu pelajar yang: (1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
berakhlak mulia; (2) berkebinekaan global; (3) bergotong-royong; (4) mandiri;
(5) bernalar kritis; dan (6) kreatif.
Profil pelajar Pancasila akan menjadi
karakteristik yang dapat terwujud melalui penumbuhkembangan nilai-nilai
Pancasila yang berakar dalam masyarakat Indonesia ke depan. Masyarakat
Indonesia akan menjadi masyarakat yang terbuka yang berkewarganegaraan global,
dapat menerima manfaat keragaman sumber pengalaman, serta nilai-nilai dari
beragam budaya yang ada di dunia, tetapi sekaligus tidak kehilangan ciri dan
identitas kekhasannya.
Dengan demikian, Profil Pelajar Pancasila
adalah kompetensi, atau gabungan antara karakter dan keterampilan yang perlu
dimiliki oleh pelajar-pelajar Indonesia Abad 21. Karakter (softskills) dan
keterampilan (hardskills) adalah dua hal yang berbeda, tetapi saling menopang.
Keduanya sangat penting untuk dimiliki oleh setiap pelajar Indonesia.
Profil pelajar Pancasila selaras dengan
tujuan utama pendidikan agama Islam, yaitu membentuk manusia berbudi pekerti
(softskills) dan beretika, sekaligus berilmu (hardskills). Hal ini sesuai
dengan pendapat Elihami dan Syahid (dalam Nabila dan Wirdati, 2023: 21712) yang
mengatakan bahwa Pendidikan Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik
dalam mempersiapkan peserta didik untuk menyakini, memahami, dan mengamalkan
Islam melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan yang telah ditetapkan guna
mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Nata (dalam Suleman dan Luneto,
2023: 18), tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib adalah tiga kata yang para ahli kaitkan
dengan konsep Pendidikan Islam. Pendidikan Islam sebenarnya merupakan proses
pengungkapan jati diri seseorang untuk mencapai kesadaran sejati akan
keberadaannya. Pendidikan Islam yang komprehensif membawa kesadaran baru
tentang diri, kemampuan dan keberadaan seseorang dengan cara yang baru.
Dari sudut pandang Islam, pendidikan
harus menciptakan manusia yang beribadah kepada-Nya. Tujuan Pendidikan Islam
adalah untuk mengangkat hamba-hamba Allah yang berilmu dan layak, untuk membawa
kemakmuran dan manfaat bagi semua penduduk bumi. Dengan demikian, Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang mengedepankan nilai dan martabat manusia sehingga
pada akhirnya anak lebih memahami bahwa dirinya bukan hanya makhluk biologis,
melainkan makhluk berkepribadian yang bersifat spiritual.
Keberadaan pesantren sebagai salah satu
bukti nyata Pendidikan Islam, adalah jawaban dari keberhasilan transformasi
kurikulum di sebagian kecil Sistem Pendidikan Nasional. Banyak sekali laporan
penelitian yang mengangkat keberhasilan pesantren dalam meningkatkan
keterampilan komprehensif santri, baik itu softskill (akhlak/karakter) maupun
hardskill (keterampilan kerja). Keberhasilan ini merupakan jawaban bahwa Profil
Pelajar Pancasila dalam Sistem Pendidikan Nasional beriringan secara dinamis
dengan kurikulum Pendidikan Islam.
Selain itu, dalam kurikulum Pendidikan
Islam dikenal dengan prinsip pemberdayaan santri (peserta didik). Landasan
filosofis prinsip pemberdayaan santri yaitu dengan membekali sejumlah keahlian
tertentu di luar keahlian substansi yang ada pada pesantren. Maka, telah
menjadi sebuah keharusan bagi pesantren untuk membekali santrinya sebagai modal
ketika terjun di masyarakat kelak.
Bahkan, dalam PMA No. 13 Tahun 2014,
pasal 2 huruf b dan c disebutkan bahwa penyelenggaraan Pendidikan Islam
bertujuan: pertama-tama mengembangkan kompetensi, pengetahuan, sikap, dan
keterampilan peserta didik agar menjadi ahli agama. Selain itu, Pendidikan
Islam (mutafaqqah fiddin) adalah menjadi muslim yang dapat mengamalkan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, serta mengembangkan nilai-nilai moral
perilaku keagamaan bagi peserta didik yang memiliki ketakwaan pribadi dan
sosial, dengan menjunjung tinggi semangat keikhlasan, kesederhanaan,
kemandirian, persaudaraan antar umat Islam (ukhuwah Islamiyah),
kerendahan hati (tawaddu), toleransi isi (tasamuh), keseimbangan
(tawazun), kelembutan (tawasuth), keteladanan (uswah),
cara hidup sehat, dan cinta tanah air (Ilyas dan Ilyas, 2022: 110).
Pesantren dapat mengadopsi penerapan
pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen modern serta model kepemimpinan yang
mengarah pada organisasi yang berbasis profit oriented tanpa kehilangan
identitas dan jati dirinya. Identitas dan jati diri yang dimaksud adalah fungsi
tradisional pesantren yang tetap berjalan, seiring dengan pilihan perubahan
yang dilakukannya. Fungsi tradisional yang dimaksud adalah; pertama, transmisi
dan transfer ilmu-ilmu Islam; kedua, pemeliharaan tradisi, dan ketiga;
reproduksi ulama (Azra, dalam Ilyas dan Ilyas, 2022: 113). Jadi,
profesionalisme dan proporsionalitas dalam pengelolaan menjadi sebuah
keniscayaan yang penekanannya pada pemberdayaan usaha ekonomi santri.
Pandangan ini memberi gambaran pada dunia
bahwa pesantren sebagai institusi pendidikan yang memiliki keunikan dan
kemampuan survive mengikuti perkembangan secara dinamis dibandingkan
dengan institusi pendidikan lain di Indonesia. Keunikan pesantren seperti ini
dikenal dengan konsep “Pesantren sebagai Subkultur”. Konsep ini dimaknai
sebagai sekelompok pola perilaku yang memiliki hubungan dengan kebudayaan umum
suatu masyarakat, tetapi pada bagian lainnya tetap memiliki kekhususan yang
dapat dibedakan dengan pola kebudayaan yang berlaku secara umum dalam
masyarakat. Artinya, pesantren memiliki karakter eksistensial sebagai ciri
pembeda dengan institusi pendidikan lainnya. Majid (dalam Ilyas dan Ilyas,
2022: 113) menyebut karakter eksistensial pesantren tidak hanya identik dengan
makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelas
bahwa integrasi kompetensi abad ke-21 dengan kurikulum pendidikan warisan
bangsa ini menjadi salah satu cara dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang
sedang terjadi pada saat ini. Dengan begitu, integrasi ini akan membangkitkan
kesadaran setiap pemuda, khususnya para pelajar, untuk menguasai kompetensi (skills)
secara utuh, baik karakter (softskills) maupun keterampilan kerja (hardskills).
Dengan begitu, akan terlahir tenaga kerja
profesional yang holistik guna mendapatkan keseimbangan dengan keberadaan
teknologi sekarang.
Namun demikian, diperlukan sebuah kerja
sama yang solid antara Kemendikbud sebagai penentu kebijakan Sistem Pendidikan
Nasional, Kemenag selaku pihak yang menaungi Kurikulum Islam, Lembaga-Lembaga
Pendidikan Islam, dan DUDIKA. Dengan demikian, Lembaga-Lembaga Pendidikan
Islam, seperti halnya pesantren, dapat mempunyai suatu grand design dalam
mengintegrasikan kurikulum pendidikan nasional dan kurikulum Islam, sekaligus
langkah-langkah implementasi keterampilan kerja peserta didiknya di DUDIKA,
seperti entrepreneur, manajemen, coding, penguasaan bahasa asing, dan
lainnya.(*)
Panji Pratama, lahir di Sukabumi, 28 Maret. Bertugas
sebagai guru dan dosen di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu, SMAN 1 Nagrak, dan INKHAS
Sukabumi. Selain mengajar di sekolah formal, juga menjadi Tutor dan Content
Writer di platform edukasi Quipper.com sejak 2016. Selain mengajar, juga
tercatat sebagai penulis artikel di media sastra populer nongkrong.co.
Kesibukan lainnya adalah menjadi pengisi materi pada kegiatan literasi dan kependidikan
di berbagai tempat.
Saat ini tergabung sebagai pengurus Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Sukabumi, pengurus Persatuan Guru Nahdatul Ulama (Pergunu) Kabupaten Sukabumi, pengurus Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat (KPPJB), pengurus Forum TBM Kab. Sukabumi, dan pengurus Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia (AGBSI).
Ig: @pan1pra1
WA: 081299494907
Web: www.panji-pratama.com
Posting Komentar untuk "KABAR DARI KOTA KINABALU Keterampilan Kerja dalam Kurikulum Islam Modern (BAGIAN III)"