Tolong Ubah Nilai Anakku (1)
https://www.freepik.com |
“Saya mau bertemu dengan Kepala
Sekolah”. Suara serak namun berat terlontar dari seorang laki-laki yang sudah
berumur. Ia mengenakan kemeja dan celana jeans. Wajahnya merah dan matanya
melotot, seakan mau melahap orang di depannya.
Bu Hetty pegawai Administrasi Sekolah yang ditemuinya kaget sekali. Ia
ingin menjawab, tapi entah kenapa tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Padahal dalam kesehariannya ia dikenal oleh guru-guru di sekolah sebagai orang
yang pandai bergaul dan sering bercanda.
“Kamu dengar tidak? Mana Kepala
Sekolahnya ?” Tak sabar laki-laki itu menghampirinya.
“Se…se…sebentar, Pak. Sa..sa..saya akan
panggilkan,“ jawab bu Hetty dengan badan gemetar. Biasanya ia selalu
mempersilakan duduk terlebih dahulu kepada setiap tamu yang datang. Namun, saat
itu ia benar-benar lupa. Setengah berlari Bu Hetty menuju ruangan Kepala
Sekolah.
Ia melihat Pak Bahana yang sedang asyik
dengan pekerjaannya.
“Pak… maaf … ada orang yang mau bertemu
Bapak … cepet … Pak.” Teriak Bu Hetyy dengan nafas terengah-engah.
Pak Bahana adalah Kepala Sekolah SD
Berdikari. Sudah dua periode ia ditunjuk
oleh Yayasan Harapan Bangsa untuk memimpin sekolah. Berkat kejujuran dan
ketekunannya, ia masih tetap dipertahankan sebagai Kepala Sekolah.
“Ada apa Bu, kok teriak-teriak
begitu?” Tanya Pak Bahana menatap Bu Hetty dengan heran. Sementara tangannya
dengan terampil membenahi lembaran evaluasi diri sekolah (EDS) yang ia kerjakan
sejak tadi pagi.
“Itu Pak, ada orang yang ingin bertemu
dengan Bapak !” Kata Bu Hetty.
“Siapa dan darimana ?” tanya Pak Bahana
sambil berdiri dan menghampiri Bu Hetty.
“Nggak tahu Pak?”
“Kok, nggak tahu?”
Bu Hetty terdiam, tak tahu harus
menjawab apa. Tadi tak terlintas sedikitpun dalam pikirannya untuk bertanya
siapa nama tamu itu dan darimana. Ah, boro-boro
nanyakeun ngaranna, nu aya mah sieun we3, jawabnya dalam hati.
“Kenapa diam saja Bu Hetty? “Sok atuh
calik0 heula!” Pak Bahana.
“Sawios1 Pak.
Sebaiknya Bapak segera ke ruang tamu. Kayaknya ia tidak sabar ingin bertemu
Bapak .”
“Hayu atuh urang ka ditu2”
ajak Pak Bahana sambil melangkah tenang menuju ruang tamu.
Ketika Pak Bahana datang, laki-laki itu sedang berdiri
dekat pintu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya tak lepas
memandang siswa-siswa yang sedang bermain kejar-kejaran di halaman sekolah.
“Selamat siang, Pak,” sapa Pak Bahana.
Ia terkejut dan membalikkan badannya.
“Siang, saya Ramon. Ayahnya Wendy,”
dengan gagah ia mengulurkan tangan.
“Oh, orang tuanya Wendy. Saya Bahana
Pak, Kepala Sekolah SD Berdikari,” jawab Pak Bahana sambil memegang erat tangan
laki-laki tersebut.
“Silakan duduk Pak!”
“Ya!” Ia hempaskan tubuhnya ke kursi
sofa sambil merentangkan tangan. Sejenak Pak Bahana membiarkan Pak Ramon dalam
keadaan seperti itu.
“Ada yang bisa kami bantu, Pak?” tanya
Pak Bahana.
“Saya langsung saja Pak.” Jawab Pak Ramon. Ia kemudian membetulkan posisinya dan menatap pak
Bahana dengan garang. “Anak saya kan mau masuk RSBI di SMP Negeri 1. Ia tidak bisa daftar, karena
persyaratannya rata-rata rapor kelas IV-VI minimal 7,5. Nah, rata-rata rapor
anak saya di kelas 4 semester 1 mencapai 7,1. Ini gara-gara nilai matematika
yang hanya diberi nilai 6,5. Tolong bantulah anak saya agar bisa daftar ke
RSBI.”
“Maksud Bapak bagaimana?”
“Ya. ubah nilainya dong Pak. Berapa yang
harus saya bayar. Uang tak masalah.”
“Mohon maaf. Tidak bisa Pak. Nilai rapor
tidak bisa diubah. Nilai tersebut merupakan kesimpulan akhir dari hasil
perkembangan belajar putra bapak selama satu semester. Lagi pula dalam
memberikan penilaian, guru telah
mempertimbangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Sehingga penilaian
lebih menyeluruh.” Pak Bahana mencoba memberikan penjelasan.
“Bapak, kan Kepala Sekolahnya. Masa
tidak bisa mengubah nilai rapor. Tolong dong Pak, ini demi kepentingan anak.
Masa belum apa-apa sudah tersingkir karena persyaratan.”
“Pak, meskipun saya Kepala Sekolah, saya
tidak bisa mengubahnya. Karena selain yang telah dijelaskan tadi, nilai rapor
merupakan hak otonomi guru yang mengajarnya” Tak sabar mendengarkan penjelasan
pak Bahana, ia langsung memotong pembicaraan.
“Kalau begitu saya harus segera menemui
gurunya. “Siapa yang mengajar di kelas 4 sebelumnya Pak?” Tanya Pak Ramon.
“Mata pelajaran matematika di SD
dipegang oleh wali kelasnya. Pak Ramon tinggal lihat saja di rapor, siapa
namanya. Namun saya sampaikan bahwa jawaban mereka akan sama dengan saya. Jadi
sebaiknya bapak tidak perlu menemuinya.”
“Kalau boleh tahu, apa alasan Pak Ramon
sehingga bersikeras agar putra bapak masuk ke RSBI ?”
“Pak, saya kan sudah tua. Wendy anak
kami yang paling besar. Sudah semestinya ia mendapatkan pendidikan yang
terbaik. Setahu saya RSBI/SBI merupakan sekolah unggulan berstandar
internasional yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah di setiap kota. Pasti
lebih baik dengan sekolah lainnya. Lagi pula di sana pembelajaran disampaikan
dengan bilingual dan memiliki laboratorium
komputer yang lengkap” Dengan penuh semangat Pak Ramon menjelaskan. Ia
berharap sekali Pak Bahana bisa memenuhi keinginannya.
“Pak, memang tahun ini pemerintah gencar
sekali mensosialisasikan tentang RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional)
dengan maksud meningkatkan kualitas pendidikan dan mengejarkan ketertinggalan
dengan negara-negara lain. Namun saya sendiri kurang setuju dengan program
pemerintah tersebut, karena dengan program ini, pemerintah seakan-akan membuat kasta-kasta diantara sekolah.
Dana milyaran digelontorkan ke RSBI/SBI
untuk membangun infrastruktur dan meningkatkan kompetensi guru. Sedangkan
sekolah lain kurang mendapat perhatian bahkan seolah-olah termarginalkan,
kalaupun dapat suntikan dana jumlahnya tak sebesar sekolah-sekolah RSBI/SBI.
Akibatnya masyarakat berbondong-bondong ingin
menyekolahkan putra-putrinya ke sana.
Padahal banyak sekolah yang dekat dengan rumahnya. Bahkan mereka rela membayar tambahan untuk menutupi kekurangan biaya operasional
sekolah.
Kalau Bapak ingin putranya seperti siswa
RSBI/SBI yang memiliki kemampuan berbahasa inggris dan komputer. Cukup ikut sertakan putra Bapak dalam kursus
bahasa inggris dan komputer. Insya Allah
kemampuannya tidak akan jauh dengan mereka.
Saran saya, lebih baik Bapak sekolahkan
Wendy di sekolah yang sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Jika Bapak
bersikukuh ingin memasukkan putra Bapak ke sana. Apakah Bapak tidak kasihan
kepadanya? Ia akan tertatih-tatih mengikuti proses pembelajaran yang diluar
kemampuannya.
Lagi pula dengan mengubah nilai rapor,
Bapak telah bertindak curang dan memberikan contoh buruk kepada putra Bapak.
Hal ini akan membekas baginya sampai kelak dewasa. Jika ia menemukan
permasalahan, bukan hal yang tidak mungkin akan melakukan tindakan yang sama
seperti yang dilakukan ayahnya sekarang.” ujar Pak Bahana menjelaskan dengan
tutur kata dengan lemah lembut dan penuh kehati-hatian.
“OK, Pak. Terima kasih atas masukannya.
Saya akan diskusikan hal ini dengan istri saya di rumah. Selamat siang,”
Dengan tergesa-gesa Pak Ramon
meninggalkan ruang tamu. Ia merasa sia-sia saja berlama-lama di kantor. Karena
tak mungkin mengubah pendirian Pak Bahana.
Lebih baik segera pulang dan mendiskusikan hal ini dengan istrinya.
Selama perjalanan pulang, segala macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Terngiang-ngiang juga perkataan Kepala Sekolah SD Berdikari itu. Bertidak curang ….contoh buruk ….. apa yang akan terjadi dengan anaknya kelak.
Sesampainya di rumah, istrinya langsung menyambut dia dengan berbagai pertanyaan........
Bagaimanakah cerita selanjutnya ? Silahkan menuju Bagian kedua - Tamat !
Posting Komentar untuk "Tolong Ubah Nilai Anakku (1)"